28 April 2015, Aseanty Pahlevi, Sanggau, Kalimantan Barat
Pius Tomi (35) dan beberapa warga Desa Sejotang berkumpul. Di ruang tengah kediaman Tomi itu, mereka berembuk, membahas nasib desa dan hutan adat mereka di Gunung Sebayan yang usut punya usut telah dimasukkan pemerintah setempat dalam konsesi perusahaan sawit.
Desa Sejotang berada sekitar 20 kilometer dari Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Desa ini membawahi tujuh dusun yaitu Sejotang, Semenduk, Batang Besi, Jeramun, Yangko, Unga, dan Jelawat. Sementara Tomi, merupakan Kepala Desa Sejontang yang baru terpilih enam bulan lalu. Dia bertanggung jawab atas 515 kepala keluarga atau 1.931 jiwa yang hidup di desa tersebut.
Menurut Tomi, di Gunung Sebayan, ada tembawang masyarakat. Tembawang merupakan istilah masyarakat Dayak, untuk lahan yang ditanami buah-buahan. Di Gunung Sebayan pula terdapat mata air, yang tak lain sumber air bersih warga yang dialirkan ke desa melalui pipa.
Bersama Jaya Adat, Struktur Dewan Adat Dayak tingkat desa, warga telah melakukan pemetaan hutan Adat Sejotang. “Sejauh ini, hutan adat kami yang luasnya 300 hektar baru terpetakan 100 hektar,” kata Tomi, beberapa waktu lalu.
Warga berpendapat, pemetaan partisipatif hutan adat harus dilakukan. Mengingat, areal Desa Sejotang sudah diberikan dengan murah hati oleh pemerintah daerah untuk konsesi perusahaan sawit. “Pemerintah mengeluarkan izin usaha sawit di lahan masyarakat. Ini yang membuat kami berinisiatif melakukan pemetaan. Jika selesai, kami akan mengadap ke pemerintah daerah, agar wilayah kami dikeluarkan dari konsesi perusahaan yang hingga kini masih saya selidiki namanya,” tambah Tomi.
Sekretaris Dewan Adat Dayak, Julian (50) menyatakan, hanya Desa Sejotang dan Desa Subah di wilayah Tayan Hilir yang masih bisa diselamatkan hutan adatnya. Lainnya sudah habis. Padahal, Tayan Hilir memiliki bentang alam yang baik. Ada perbukitan, danau, sungai, dan tentunya hutan. “Namun malang, akibat wilayah ini ada kandungan bauksitnya, dalam waktu dekat akan dibangun pula smelter milik PT. Antam, selain tentunya perusahaan sawit yang siap operasi,” ujarnya.
Julian sendiri yang tinggal di Dusun Jaang, Desa Lalang, sudah berontak. Halaman belakang rumahnya, sudah diklaim masuk dalam konsesi perusahaan sawit. Bahkan, penggarapan lahan telah dilakukan. “Saya bingung mengapa bisa begini,” paparnya.
Hermawansyah, Direktur Swandiri Institute, menuturkan bahwa dalam pemetaan partisipatif ini, mereka hanya mendampingi Masyarakat Sejotang. “Kami menggunakan drone yang tetap dioperasikan oleh rekan dari Swandiri Institute. Sementara data aslinya dari masyarakat.”
Hermawan menjelaskan, dalam pemetaan partisipatif, masyarakat dilatih dahulu menggunakan GPS (Global Positioning System) guna menandai batas wilayah mereka, mulai desa hingga hutan adat. Selanjutnya, data tersebut digunakan sebagai rute terbang drone dan dipotret dari udara. “Kami melakukan pemetaan ini setelah dihubungi Dewan Adat Dayak untuk mendampingi mereka.”
Pastinya, penggunaan drone tidak untuk menghilangkan cara pemetaan yang dilakukan masyarakat adat selama ini. Terlebih, menghilangkan nilai-nilai positif yang mereka junjung tinggi. “Bukan itu. Kami hanya mempermudah saja. Jika tanpa drone, pemetaan satu desa bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan, dengan drone dapat dilakukan beberapa jam saja,” tambah Hermawan.
Hapy Hendrawan, Peneliti Swandiri Institute, berharap peta partisipatif yang dibuat Masyarakat Sejotang, nantinya bakal diakomodir Pemerintah Kabupaten Sanggau. “Peta ini cerminan permasalahan di lapangan,” ungkapnya.
Dalam waktu dekat, kata dia, masyarakat akan melakukan rapat dengar pendapat dengan anggota DPRD Kabupaten Sanggau. Tujuannya, agar Pemerintah Kabupaten Sanggau segera menetapkan hutan adat milik Masyarakat Sejotang dan Subah. “Karena, syarat untuk mendapat pengakuan hutan adat adalah dengan mengeluarkan status hutan tersebut dari hutan negara melalui peraturan daerah. Inisiasi ini, diharapkan bisa menjadi contoh bagi masyarakat adat lainnya di Kalimantan Barat,” tegas Hapy.