Jakarta, CNN Indonesia — Otoritas negara, administrasi pemerintahan, pelaku ekonomi, dan relasi sosial politik kemasyarakatan semakin mendorong keterbukaan. Salah satu gelombang keterbukaan yang mengguncang kancah global baru-baru ini adalah skandal Panama Papers—membuka lebih dari 11,5 juta dokumen rahasia yang dibuat oleh penyedia jasa perusahaan Mossack Fonseca.
Dari dokumen yang bocor, terkuak nama pemimpin negara, serta pejabat pemerintahan, kerabat, dan teman dekat sejumlah kepala pemerintahan, dari sekitar 40 negara lainnya. Jantung dari pengungkapan Panama Papers adalah kepemilikian sesungguhnya atau pengendali utama perusahaan (Beneficial Ownership) dari sebuah perusahaan.
Pengungkapan BO bergulir selama beberapa dekade dalam dunia ekonomi, keuangan dan pajak. Keterbukaan BO menjadi tuntutan semua negara dan dorongan berbagai forum multilalteral global, baik G20, OECD, maupun forum ekonomi dan kerjasama pembangunan lainnya.
Hampir semua, termasuk Indonesia, sepakat dan mencantumkan ‘Keterbukaan BO’ sebagai komitmen dalam forum anti-corruption summits yang berlangsung di London 12 Mei 2016. Transparansi BO dianggap dapat mencegah terjadi korupsi, penghindaran pajak, pembiayaan terorisme, dan praktik pencucian uang.
Dari konferensi yang sama, untuk sektor pajak dan transparansi fiskal, Indonesia menyatakan akan melaksanakan prinsip G20 baik standar integritas pengadaan maupun prinsip open data. Di bidang perpajakan, Indonesia berkomitmen melaksanakan inisiatif Common Reporting Standard dan Addis Tax Initiative.
Mengenal Beneficial Ownership
Pendifinisian BO secara global pada awalnya banyak dikontruksi oleh OECD, terutama melalui beberapa putaran konvensi model perpajakan (OECD Model Tax Convention). Dalam OECD Working Party 2011, BO didefinisikan sebagai individu penerima manfaat yang sebenarnya.
OECD membagi tiga jenis pemilik dan penerima manfaat sebenarnya: (1) dalam sebuah perusahaan, BO adalah pemegang saham (shareholder) atau anggota; (2) dalam sebuah kerja sama (partnerhip), BO adalah pihak partner baik yang sifatnya terbatas maupun umum; (3) dalam sebuah trust atau foundation, BO adalah pendiri.
Di Indonesia, BO banyak didefinisikan dalam konteks perpajakan, khususnya terkait pencegahan penyalahgunaan persetujuan penghindaran pajak berganda (tax treaty). Secara khusus, Dirjen Pajak (DJP) menerbitkan Surat Edaran (SE) yang mengacu pada Undang-Undang Tentang Pajak Penghasilan (UU Nomor 7/1983, yang telah diubah beberapa kali, terakhir dengan UU Nomor 36/2008.
DJP telah beberapa kali menerbitkan SE/Peraturan Dirjen yang mendefinisikan BO, terakhir melalui PerDirJen Nomor: PER-25/PJ/2010. Dalam beleid tersebut, BO didefinisikan sebagai pemilik sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan.
Yang dimaksud BO adalah penerima penghasilan yang bertindak tidak sebagai agen, tidak sebagai nominee (pinjam nama); dan bukan perusahaan conduit (perusahaan perantara).
Dalam konteks industri ekstraktif, Naturan Resources Goevrnance Institute (NRGI) secara substansi definisi BO harus mencakup beberapa hal mendasar yang terdiri atas ultimate owner, economic benefit, dan control.
Pengungkapan BO Pengaruhi Sejumlah Sektor
Di bidang ekonomi, pengungkapan beneficial ownership menjadi tuntutan kekinian di sektor keuangan, perbankan, dan perpajakan. Untuk penegakan hukum, pengungkapan BO memudahkan pencarian identitas dalam membongkar kasus pidana, memudahkan pencarian dan pembuktian tindak pidana pencucian uang (TPPU), serta memaksimalkan pemulihan aset (asset recovery) dari pelaku tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
Meski struktur kepemilikan perusahaan yang kompleks dan tertutup belum tentu secara langsung menandakan keterlibatan perusahaan tersebut dalam tindak pidana keuangan, perpajakan, dan tindak pidana lainnya.
Namun laporan yang dirilis ONE tahun 2014 memerkirakan, negara berkembang kehilangan sekitar US$1 triliun per tahun atau sekitar Rp10 ribu triliun sebagai hasil tindak pidana ilegal dari deal lintas negara. Beberapa di antaranya melibatkan perusahaan dengan kepemilikan yang tidak jelas/unclear ownership (One, The Trillion Dollar Scandal, 2014).
Ketidakterbukaan informasi BO dapat menyebabkan hilangnya potensi ekonomi dan pendapatan negara. Hal tersebut terjadi akibat dari peluang penghindaran pajak (tax avoidance) oleh wajib pajak.
Informasi BO yang tidak terbuka juga menimbulkan persoalan di pasar modal dan sektor keuangan. Proses jual beli surat berharga yang semu—perusahaan penjual memiliki afiliasi kepemilikan dengan perusahaan pembeli. Bursa pasar uang tidak berjalan sempurna karena pembeli maupun penjual bisa saja dikendalikan oleh BO yang sama, membuat kinerja bursa tidak mencerminkan kinerja yang sebenarnya.
Akibatnya, pergerakan indeks harga dan tingkat perubahan harga di bursa berjalan tidak sempurna, berimbas pada indikator ekonomi yang tidak sempurna, tidak menggambarkan situasi sesungguhnya (kamuflase), pasar berjalan asimetris dan cenderung dikendalikan oleh segelintir kelompok yang mengambil untung, sementara publik kembali dirugikan.
Pengungkapan BO akan menciptakan peluang bagi banyak pelaku ekonomi untuk berbisnis secara fair, bersaing secara sehat, dan berlomba meningkatkan kualitas bisnisnya. Mengungkap BO dapat menghindari monopoli dan mencegah conflict of interest dalam kepemilikan sumber daya publik, seperti dalam kepemilikan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Ada contoh kasus di sektor industri ekstraktif, seperti minyak dan gas bumi serta pertambangan. Dari sekitar Rp1.387 triliun uang yang beredar di sektor ini, terdapat ribuan pengusaha yang menikmati penghasilan dari industri ini. Kendati demikian, keuntungan yang didapat oleh perusahaan dan pengusaha tersebut belum seimbang dengan pajak yang dibayarkan ke negara.
Berdasarkan data DJP tahun 2014, hanya sekitar Rp96,9 triliun yang dapat ditarik pajaknya. Artinya, rasio antara pajak dan PDB di sektor ini hanya sebesar 9,4 persen.
Hal ini terjadi diantaranya karena otoritas pajak oemerintah tidak memiliki informasi yang akurat mengenai BO dari perusahaan yang beroperasi di sektor ini. Bahkan dari hasil Koordinasi dan Supervisi KPK di sektor pertambangan mineral dan batubara, ada sekitar 1.800-an NPWP pemilik Izin Usaha Pertambangan tidak dapat teridentifikasi.
BO dan Kinerja Pajak
Studi yang dilakukan Publish What You Pay Indonesia (Wiko dkk, 2016) mengemukakan faktor utama hilangnya potensi penerimaan negara adalah karena terbuka peluang penghindaran pajak (tax avoidance) oleh wajib pajak. Tax avoidance tersebut disebabkan oleh tiga penyebab utama.
Pertama, data wajib pajak orang pribadi/perusahaan yang lemah atau tidak valid dan kurang update. Banyak pemgusaha yang memiliki bisnis dan menerima penghasilan dari bisnis tersebut namun tidak banyak informasi mengenai keberadaan mereka dalam bisnis tersebut.
Kedua, ada praktik penghindaran pajak berganda (Double Tax Avoidance, DTA), yang dipicu informasi tidak valid. Hal ini memudahkan perusahaan dan pengusaha memindahkan status penghasilannya ke negara pelabuh pajak (tax heavens). Terdapat juga praktik penghindaran pajak dengan skema treaty shopping melalui pemanfaatan celah regulasi kerja sama perpajakan antar negara.
Ketiga, masih terdapat masalah regulasi dalam pembukaan data BO. Diperlukan kebijakan terintegrasi antara data NPWP wajib pajak, dengan data KTP, data nasabah dan transaksi keuangan, serta data kepemilikan perusahaan. Untuk itu, penerapan Single Identity Number (SIN) merupakan agenda urgen untuk segera dilaksanakan dan didorong sebagai pondasi dari penguatan data pembayaran pajak.
Kinerja pajak antara lain dapat dilihat dari nilai tax effort. Dari data estimasi yang dilakukan Fenochietto dan Passino tahun 2013 (sebagaimana dikutip oleh Dhanny Darusalam Tax Center), tax effort Indonesia hanya 0,43. Artinya, realisasi penerimaan pajak di Indonesia baru 43 persen dari seluruh potensi yang ada.
Demikian halnya dengan tax buoyancy. Perkiraan yang dilakukan Badan Kebijakan Fiskal-Kementerian Keuangan pada kurun waktu 2003-2013, tax buoyancy di Indonesia rata-rata hanya 1,8. Artinya setiap 1 persen pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) hanya mampu meningkatkan pertumbuhan penerimaan pajak hingga 1,8 kali.
BO dan Aliran Uang Haram
Berdasarkan laporan Global Financial Integrity tahun 2014, Indonesia menempati urutan ke-7 dari 10 negara besar dengan aliran uang haram (illicit financial flow/IFF) terbesar di dunia. IFF di Indonesia tahun 2003-2012 mencapai US$187.884 juta atau rata-rata Rp169 triliun per tahun.
Tahun 2014, IFF Indonesia diperkirakan mencapai Rp227,7 triliun atau setara 11,7 persen APBN-P pada tahun tersebut. Di sektor Pertambangan, diperkirakan Rp23,89 triliun, sebesar Rp21,33 triliun berasal trade miss-invoicing, dan Rp2,56 triliun dari aliran uang panas/hot money narrow.
Tantangan utama dalam mengungkap BO akan dihadapkan pada persoalan regulasi, sinkronisasi peraturan, dan perlindungan data privat dari individu pemilik perusahaan. Tantangan lainnya, keinginan politik dari pembuat kebijakan dan juga Presiden Joko Widodo untuk serius mengupayakan pengungkapan data BO. (rdk)