Bisnis.com, JAKARTA — Perbankan asing maupun domestik didesak untuk meninjau kembali perusahaan-perusahaan yang selama ini menjadi debitur, namun terlibat dalam persoalan lingkungan, macam perkebunan sawit dan tambang batu kapur.
Riset terbaru Koalisi Responsibank Indonesia menunjukkan bagaimana peran perbankan asing maupun domestik sangat penting dalam bisnis perusahaan perkebunan dan semen di Indonesia. Riset itu diluncurkan pada hari ini dengan meneliti keterkaitan perbankan dengan kedua sektor bisnis tersebut.
Koalisi Responsibank terdiri dari sejumlah organisasi sipil yakni Infid, ICW, Prakarsa, PWYP, Walhi dan YLKI. Riset itu meneliti perkebunan sawit PT Wira Mas Permai di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah dan PT Semen Indonesia Tbk (Persero) di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Kurniawan Sabar, salah seorang peneliti menuturkan misalnya adalah pinjaman PT Bank Mandiri Tbk senilai Rp1,4 triliun, yang mendukung operasi bisnis PT Semen Indonesia dalam pembangunan pabriknya di Rembang. Pihak Bank Mandiri sudah diundang dalam sebuah Forum Diskusi Terfokus sebelum peluncuran riset tersebut untuk memberikan klarifikasi dalam pemberian kredit tersebut.
Tambang batu kapur sendiri hingga kini masih ditentang oleh warga lokal karena diduga merusak Cekungan Air Tanah. “Akan mengakibatkan hilangnya sumber mata air yang menopang kehidupan masyarakat Rembang,” kata Kurniawan dalam diskusi peluncuran riset tersebut, Jumat (30/10/2015).
Sedangkan kasus perkebunan sawit PT Wira Mas Permai, yang dimiliki oleh Kencana Agri Group, juga melibatkan sejumlah bank nasional dan asing. Edo Rakhman, peneliti untuk masalah itu, memaparkan pinjaman itu terkait dengan perkebunan plasma, namun ternyata perkebunan itu tak dibangun.
“PT Wira Mas Permai sama sekali tidak membangun kebun plasma yang menjadi kewajiban utama untuk pembukaan kelapa sawit,” kata Edo dalam diskusi tersebut.
Grup Kencana Agri sendiri mendapatkan fasilitas pembiayaan dari bank internasional macam HSBC dan Citibank. Riset itu memaparkan kedua bank itu memiliki persyaratan ketat terhadap lingkungan, namun praktik di lapangan tidak diterapkan.
Koalisi ResponsiBank Indonesia menyatakan pihaknya meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mendorong sektor perbankan di Indonesia untuk memasukkan standar risiko sosial dan lingkungan sebelum pengucuran kredit. Koalisi itu menuturkan hal itu penting karena perbankan menjadi urat nadi dalam ekspansi perusahaan, termasuk yang tidak taat terhadap lingkungan.
“Untuk memotong aliran darah perusahaan-perusahaan nakal, perbankan harus lebih ketat dan meninjau ulang investasinya ketika terjadi pelanggaran,” demikian koalisi tersebut.