Transisi energi telah dibahas secara luas dalam beberapa inisiatif global. Pada tahun 2016, sebanyak 191 pihak telah menandatangani Paris Agreement sebagai wujud kerja sama dalam memerangi perubahan iklim dan meningkatkan investasi untuk pembangunan rendah karbon yang berkelanjutan. Sebagai salah satu negara yang ikut serta dalam perjanjian internasional ini, Indonesia memiliki komitmen yang kuat dalam memerangi perubahan iklim dengan secara bertahap menjadikan energi terbarukan sebagai salah satu agenda utama pembangunan. Pada tahun 2015, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi dari tahun 2020-2030 sebesar 29% (tanpa syarat) hingga 41% (bersyarat) dari skenario business as usual tahun 2030, sebuah komitmen tanpa syarat yang meningkat dari komitmen tahun 2010 yang hanya sebesar 26%1. Gagasan tentang eksternalitas negatif dari penggunaan energi berbasis batu bara memberikan penundaan global untuk beralih ke energi yang lebih berkelanjutan dan bersih.

Transisi ini, sampai batas tertentu, memicu beberapa negara untuk menginisiasi JETP (Just Energy Transition Partnership) yang diprakarsai oleh Uni Eropa, Perancis, Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat.2JETP diluncurkan pada tahun 2022 bersamaan dengan penyelenggaraan G20 Indonesia. Tujuan dari kemitraan jangka panjang dengan Indonesia ini adalah untuk memobilisasi dana awal sebesar $20 miliar (sekitar €19,4 miliar) dalam bentuk pembiayaan publik dan swasta dalam jangka waktu tiga hingga lima tahun, dengan menggunakan pembiayaan secara mix melalui hibah, pinjaman lunak, pinjaman dengan suku bunga pasar, jaminan, dan investasi swasta. Di bawah Asia Development Bank (ADB) dan PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI), pembiayaan JETP dikelola di bawah Mekanisme Transisi Energi (Energy Transition Mechanism/ETM).3 Meskipun ETM masih dalam tahap pengembangan dan pengkajian, sejauh ini skema ini hanya menyangkut dua mekanisme utama; (i) Fasilitas Pengurangan Karbon (Carbon Reduction Facility/CRF), dan (ii) Fasilitas Energi Bersih (Clean Energy Facility/CEF).

ETM belum memasukkan aspek mitigasi risiko dan aktor-aktor yang mungkin terkena dampak dari skenario transisi energi di Indonesia. Sementara di sisi lain, mungkin ada beberapa kelompok yang terkena dampak dari transisi tersebut. Sebagai contoh, transisi energi membutuhkan ekstraksi nikel sebagai bagian dari komponen untuk produk energi terbarukan, sementara pada saat yang sama ekstraksi nikel berdampak pada deforestasi.4 Selain itu, ekstraksi nikel berpotensi menimbulkan dampak lingkungan, keanekaragaman hayati, penggunaan lahan, dan resistensi sosial. Meskipun transisi energi menciptakan peluang dalam apa yang kita sebut sebagai “green jobs“, pergeseran pasar tenaga kerja dari “brown jobs” membutuhkan jalur yang jelas dalam mekanismenya.

Mitigasi risiko sangat penting dalam perencanaan jangka panjang transisi energi. Kita dapat belajar dari Jerman bagaimana kesalahan perencanaan dalam transisi energi menyebabkan biaya yang lebih tinggi dan penundaan diversifikasi ekonomi. Kita juga dapat belajar dari Australia bagaimana bantuan sosial dari pemerintah daerah kepada para pengangguran yang terkena dampak dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam diversifikasi ekonomi. Sementara di Kanada, anggaran yang dialokasikan untuk transisi dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, pemerintah Kanada telah berkomitmen untuk menyisihkan dana dari keuntungan minyak dan gas untuk pembiayaan transisi.5 Narasi ini mungkin akan menimbulkan pertanyaan, apa yang dimaksud dengan transisi yang berkeadilan? bagaimana meminimalisir risiko dan dampak buruk dari transisi di Indonesia? Aspek keadilan apa yang perlu kita perhatikan?

Meskipun definisi transisi energi berkeadilan masih banyak diperbincangkan, namun kami mengacu pada aspek keadilan dalam transisi energi seperti yang dijelaskan oleh Jakob dan Steckel (2016) mengenai pendekatan rekonsiliasi dengan mempertimbangkan kelompok yang paling rentan.6 Transisi energi yang adil perlu mempertimbangkan dan mengatasi masalah yang mungkin terdampak dari transisi tersebut, seperti pengangguran, degradasi lingkungan, dan ketidaksetaraan. Oleh karena itu, solusi yang berkelanjutan dengan tetap menjamin kesetaraan dan inklusivitas diperlukan untuk memastikan aspek keadilan dalam transisi energi.

Keadilan dalam transisi energi harus diwujudkan dalam tiga aspek, yaitu: (i) Distributional, (ii) Recognition, dan (iii) Procedural.7 Aspek distributional menegaskan bahwa imbalan, sumber daya, hak, kewajiban, dan hal-hal lain yang relevan dialokasikan secara adil di antara para aktor yang relevan. Aspek distributional mengidentifikasi skala dampak pada beberapa faktor; (i) distribusi pendapatan dan mata pencaharian, (ii) dampak kesehatan, (iii) fasilitas lingkungan. Sedangkan aspek recognition menekankan pada bagaimana individu dan kelompok tertentu harus terwakili (termasuk kelompok marjinal, masyarakat adat, dan perempuan). Identifikasi pemangku kepentingan menjadi sangat penting untuk memenuhi aspek recognition. Transisi energi yang berkeadilan juga harus mencakup prosedur yang adil dalam tata kelola dan proses pengambilan keputusan. Prosedur ini juga dapat menjadi landasan bagi inklusivitas, kearifan lokal, mengurangi hambatan informasi, serta memastikan keterwakilan dalam proses tersebut. Sejalan dengan hal tersebut, Oxfam (2022) juga menegaskan kembali aspek remedial justice di mana masyarakat harus mendapatkan kompensasi yang adil atas kerugian yang diakibatkan oleh proyek-proyek energi atau kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim.8.

Keempat aspek keadilan dalam transisi energi ini dapat menjadi acuan untuk merefleksikan bagaimana pencapaian Kebijakan Transisi Energi di Indonesia saat ini. Transisi yang berkeadilan membutuhkan paket kebijakan terutama dalam hal pembiayaan – aspek yang perlu dimasukkan oleh pemerintah sebagai bagian dari ETM. Oleh karena itu, untuk mendukung transisi energi yang berkeadilan, kita membutuhkan visi jangka panjang karena kompleksitas dimensi sosialnya. Pembiayaan transisi energi berkeadilan tidak hanya memberikan insentif untuk energi bersih dan disinsentif untuk sektor energi kotor, tetapi juga memberikan perlindungan sosial bagi mereka yang mungkin terkena dampak dari transisi tersebut.

Penulis: Azhania N. Siswadi

  1. ENDC Republic of Indonesia, 2022, https://unfccc.int/sites/default/files/NDC/2022-09/23.09.2022_Enhanced%20NDC%20Indonesia.pdf
  2. Just Energy Transition Partnership https://ec.europa.eu/commission/presscorner/detail/en/IP_22_6
  3. Pers Release, BKF Kementerian Keuangan 2022 https://fiskal.kemenkeu.go.id/files/siaran-pers/file/1657866407_siaran_pers_country_platform_etm_final.pdf
  4. Investigating Rainforest Destruction: The Nickel Mines Clearing Indonesian Forests https://pulitzercenter.org/stories/investigating-rainforest-destruction-nickel-mines-clearing-indonesian-forests
  5. Gabriela and Simamora 2020. Ensuring Just Energy Transition in Indonesia: Case Studies from Four Countries. IESR
  6. Jakob and Steckel, 2016. The Just Energy Transition. WWF
  7. McCauley et al, 2013 and Jenkins et al, 2016 in Fikri Muhammad 2023 (Preliminary Finding on Justice of Indonesia Energy Transition)
  8. Oxfam 2022. Towards a Just Energy Transition: Implications for communities in lower- and middle- income countries