JAKARTA, KOMPAS — Harga batubara acuan di Indonesia terpengaruh oleh hubungan dagang China dan Australia yang memanas. Tensi tinggi di antara kedua negara tersebut terkait dengan penyelidikan asal-muasal virus korona yang didukung pihak Australia. Pada periode April 2021, harga batubara Indonesia ditetapkan 86,68 dollar AS per ton, naik dibandingkan dengan Maret yang seharga 84,49 dollar AS per ton.
Menurut Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agung Pribadi, Australia adalah salah satu negara yang mendesak dilakukannya penyelidikan internasional terhadap asal virus korona. Hal itu menyebabkan China berang dan secara tak resmi mengakibatkan munculnya larangan impor batubara asal Australia.
”Situasi tersebut menyebabkan permintaan batubara asal Indonesia naik. Itulah kenapa harga batubara (April 2021) sedikit terdongkrak dibandingkan dengan periode bulan lalu,” kata Agung saat dihubungi di Jakarta, Selasa (6/4/2021).
Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia, faktor fundamental yang memengaruhi harga batubara adalah pasokan dan permintaan. Pasokan batubara asal Indonesia dan Australia sempat terganggu oleh curah hujan yang tinggi dan menyebabkan banjir di beberapa wilayah tambang, seperti yang ada di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
”Selain itu, setiap bulan Maret biasanya ada negosiasi tahunan antara pemasok batubara asal Australia dan pembeli di Jepang yang menyebabkan harga batubara terkerek naik, khususnya untuk jenis kalori tinggi,” kata Hendra.
Hal itu menyebabkan China berang dan secara tak resmi mengakibatkan munculnya larangan impor batubara asal Australia.
Komposisi harga batubara itu sendiri, lanjut Hendra, dipengaruhi oleh harga batubara indeks Newcastle dan GlobalCoal yang seluruhnya 50 persen, serta sisanya yang juga sebesar 50 persen dipengaruhi oleh Indonesia Coal Index dan Platt’s. Terkait isu transisi energi menuju energi bersih dan terbarukan, katanya, hal itu belum berdampak signifikan terhadap harga batubara saat ini.
Hingga 6 April 2021, produksi batubara Indonesia mencapai 142,24 juta ton atau 25,86 persen dari target produksi sebanyak 550 juta ton pada tahun ini. Adapun volume penjualan batubara pada tanggal yang sama mencapai 102,6 juta ton. Serapan batubara domestik tahun ini ditargetkan sebesar 25 persen dari total produksi.
Sebelumnya, PT Bukit Asam Tbk, yang merupakan BUMN tambang batubara, berencana memproduksi batubara hingga 50 juta ton per tahun. Padahal, rata-rata produksi batubara perusahaan tersebut kurang dari 30 juta ton per tahun. Rencana peningkatan produksi tersebut untuk menaikkan pendapatan perusahaan dari penjualan batubara.
Menurut Direktur Utama Bukit Asam Suryo Eko Hadianto, untuk melaksanakan proyek-proyek strategis perusahaan, seperti gasifikasi batubara menjadi DME, dibutuhkan modal besar. Perusahaan akan menghimpun dana, salah satunya, dengan mengandalkan penjualan batubara. Oleh karena itu, peningkatan produksi batubara perusahaan menjadi salah satu prioritas penting bagi jajaran direksi baru.
”Untuk melaksanakan program hilirisasi batubara, dibutuhkan dana yang besar. Oleh karena itu, kami akan meningkatkan produksi menjadi 50 juta ton per tahun dengan apa yang kami sebut sebagai program menuju Bukit Asam Emas,” kata Suryo seusai rapat umum pemegang saham yang berlangsung pada Senin (5/4/2021).
Direktur Pengembangan Usaha Bukit Asam Fuad Iskandar menambahkan, terkait rencana peningkatan produksi, hal itu sangat realistis bagi perusahaan. Menurut dia, Bukit Asam punya potensi untuk menaikkan produksi batubara menjadi lebih tinggi. Salah satunya dengan meningkatkan kapasitas pengangkutan batubara menggunakan moda kereta api.
Produksi batubara yang digenjot lebih tinggi dikhawatirkan dapat mengganggu keseimbangan daya dukung lahan.
Akan tetapi, rencana peningkatan produksi itu dinilai perlu dikaji ulang. Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Aryanto Nugroho mengatakan, pemerintah sebaiknya konsisten dengan pembatasan produksi batubara sebanyak 400 juta ton per tahun. Akhir-akhir ini, pemerintah terkesan terus menggenjot produksi sembari mengabaikan pengendalian produksi yang diatur dalam Rencana Umum Energi Nasional. Produksi batubara yang digenjot lebih tinggi dikhawatirkan dapat mengganggu keseimbangan daya dukung lahan.
”Pemerintah harus konsisten membatasi produksi batubara nasional 400 juta ton per tahun. Selain itu, produksi batubara yang berlebihan hanya semata untuk diekspor menunjukkan bahwa paradigma pengelolaan sumber daya alam di Indonesia masih berbasis komoditas, bukan sebagai modal penggerak ekonomi di dalam negeri,” kata Aryanto.
Sumber: Kompas