Ini tidak dalam rangka menolak hilirisasi. Melainkan mengajak kepada kita semua untuk berefleksi, tentang ambisi pemerintah melakukan hilirisasi sumber daya alam, khususnya batubara. Hilirisasi batubara yang merupakan mandat Undang-Undang (UU) Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) digaungkan pemerintah Indonesia sebagai jalan menuju kedaulatan energi dan kemajuan ekonomi.
Hilirisasi batubara ini, katanya untuk menuju kedaulatan. Dan menuju kemajuan suatu negara. Sebagaimana Arief Budiman dalam bukunya berjudul “Teori Pembangunan Dunia Ketiga”, bahwa ketertinggalan negara-negara ketiga dikarenakan diantaranya hanya bergantung pada ekspor bahan baku saja. Infrastruktur yang ada kebanyakan merupakan warisan kolonial yang mendukung ekspor bahan mentah, bukan industrialisasi. Dan semangat hilirisasi sebetulnya termasuk dalam langkah strategis keluar dari ketertinggalan itu.Hilirisasi adalah proses pengolahan bahan mentah menjadi produk setengah jadi atau jadi untuk meningkatkan nilai tambah dan mengurangi ketergantungan pada ekspor. Dalam konteks batu bara, pemerintah Prabowo-Gibran menargetkan produksi Dimethyl Ether (DME)—bahan bakar alternatif pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG)—melalui program swasembada energi. Lembaga dana investasi Danantara Indonesia direncanakan membiayai proyek ini di empat lokasi: Muara Enim dan Ogan Komering Ilir (Sumatera Selatan), Tanah Bumbu (Kalimantan Selatan), dan Kutai Timur (Kalimantan Timur).
Namun hilirisasi tak sesederhana itu. Pun tak semudah yang dipikirkan. Kewajiban hilirisasi batu bara, atau peningkatan nilai tambah produk batu bara, sudah menjadi fokus kebijakan sejak tahun 2009, khususnya melalui UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba. UU Minerba mewajibkan perusahaan tambang untuk melakukan pengolahan dan pemurnian (hilirisasi) hasil tambang, termasuk batu bara. Namun, hingga kini pelaksanaan implementasi hilirisasi batubara masih menemui banyak kendala dan tantangan. Apalagi, dalam sepuluh tahun terakhir, dunia mulai meninggalkan batubara sebagai bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim.
Muncul sebuah pertanyaan, di era transisi energi global yang menuju emisi nol bersih, masihkah hilirisasi batubara relevan, atau saatnya beralih ke pendekatan yang lebih berkelanjutan? Sekali lagi, ini bukan tentang menolak hilirisasi, tapi tentang mencari pendekatan yang terbaik untuk bangsa ini.
Tantangan Hilirisasi Batubara
Hilirisasi batubara dianggap tidak layak secara ekonomi. Menurut Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA, 2020), biaya produksi DME mencapai US$470–651 per ton, jauh lebih mahal dibandingkan LPG (US$365 per ton). Proyek DME membutuhkan investasi besar, seperti US$11 miliar untuk empat lokasi, dengan risiko utang tinggi. Kegagalan investasi terlihat dari hengkangnya Air Products and Chemicals dari proyek Muara Enim pada 2023, yang menunjukkan ketidakpastian keekonomian. Subsidi tambahan untuk menekan harga DME hanya akan membebani keuangan negara, bertentangan dengan tujuan efisiensi hilirisasi.
Kedua, hilirisasi batubara memperpanjang ketergantungan pada energi fosil dan meningkatkan emisi karbon. Produksi DME menghasilkan 412 kg CO₂ per setara barel minyak, lebih tinggi dari LPG (386 kg CO₂), dengan tambahan emisi metana dari proses gasifikasi (JRCEC, 2020). Low Carbon Development Indonesia (2022) memproyeksikan bahwa penggantian 12% LPG dengan DME akan meningkatkan emisi hingga 2,4 juta ton CO₂ pada 2030. Sementara itu, produksi batubara nasional pada 2024 mencapai 800 juta ton, dua kali lipat batas Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebesar 400 juta ton. Hilirisasi berpotensi memperburuk kelebihan produksi ini, menjauhkan Indonesia dari target Paris Agreement untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5°C dan emisi nol bersih pada 2060.
Ketiga, tantangan teknologi dan kebijakan menghambat hilirisasi. Teknologi gasifikasi masih bergantung pada impor, meningkatkan biaya dan menghambat kedaulatan teknologi, sebagaimana dianalisis Arief Budiman dalam Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Stabilitas kebijakan juga menjadi masalah, dengan ketidakpastian regulasi yang melemahkan iklim investasi. Penerapan Carbon Capture and Storage (CCS) untuk mengurangi emisi menambah biaya US$50–55 per ton CO₂, membuat proyek semakin tidak kompetitif.
Keempat, hilirisasi batubara bertentangan dengan tren energi global. Sementara dunia beralih ke energi terbarukan, Indonesia masih mengandalkan batu bara untuk 67% pembangkit listrik (2024). Realisasi bauran energi terbarukan hanya 13,1% pada 2023, jauh dari target 23% pada 2025. Kebijakan hilirisasi justru memperkuat infrastruktur energi fosil, menunda transisi yang seharusnya dipercepat.
Jalan Alternatif: Menuju Transisi Energi Berkelanjutan
Indonesia berada di persimpangan jalan. Dibutuhkan alternatif lain agar kita dapat menatap masa depan yang lebih berkelanjutan. Pertama, lakukan akselerasi pengembangan energi terbarukan. Indonesia memiliki potensi energi surya 3.294 GW, namun kapasitas terpasang hanya 537,8 MW (2023). Biaya PLTS kini hanya US$30–50 per MWh (IRENA, 2023), jauh lebih murah dibandingkan DME. Dengan mengalihkan dana Danantara ke PLTS atap (target 3,61 GW) atau PLTS terapung (26,65 GW hingga 2030), Indonesia dapat mengurangi 18 juta ton CO₂ dan menghemat 12 juta ton batu bara. Vietnam, misalnya, meningkatkan kapasitas PLTS dari 134 MW menjadi 5,5 GW dalam dua tahun, menunjukkan potensi serupa bagi Indonesia.
Kedua, investasi R&D teknologi bersih. Alih-alih mengimpor teknologi gasifikasi, pemerintah dapat mendanai pusat R&D untuk energi hijau. Manufaktur lokal untuk PLTS, turbin angin, dan baterai dapat menambah PDB US$8–10 miliar dan menciptakan 530.000 lapangan kerja. Kolaborasi dengan universitas dan BPPT dapat mempercepat inovasi teknologi rendah emisi.
Ketiga, diversifikasi ekonomi daerah. Daerah penghasil batu bara seperti Muara Enim dan Tanah Bumbu dapat beralih ke agribisnis atau pariwisata berbasis energi terbarukan. Program reskilling pekerja tambang untuk menjadi teknisi PLTS dapat menciptakan 96.000 lapangan kerja dengan investasi US$9,4 miliar. Contohnya, “Desa Mandiri Energi” di Nusa Tenggara Timur mengintegrasikan PLTS dengan irigasi pertanian, meningkatkan ketahanan ekonomi lokal.
Keempat, kebijakan transisi energi terintegrasi. Pemerintah perlu memperbarui RUEN dengan target energi terbarukan yang lebih ambisius dan menerapkan pensiun dini PLTU berusia di atas 30 tahun mulai 2025, seperti disarankan IESR. Mengalihkan subsidi LPG (Rp83 triliun pada 2024) ke energi terbarukan akan mempercepat bauran EBT. Jerman berhasil mengurangi 50% ketergantungan batu bara dalam satu dekade melalui penutupan PLTU bertahap dan subsidi energi hijau, menjadi model yang relevan.
Hilirisasi batubara, meskipun menjanjikan nilai tambah, memiliki banyak resiko.. Biayanya yang mahal, emisi tinggi, dan ketergantungan teknologi asing membuatnya tidak lagi relevan. Produksi batu bara yang sudah melebihi batas RUEN dan rendahnya bauran energi terbarukan menunjukkan urgensi perubahan. Dengan mengutamakan energi terbarukan, R&D teknologi bersih, diversifikasi ekonomi, dan kebijakan transisi energi yang konsisten, Indonesia dapat mencapai kedaulatan energi sejati tanpa mengorbankan masa depan lingkungan. Saatnya pemerintah dan masyarakat, bersatu menuju energi berkelanjutan—langkah yang tidak hanya strategis, tetapi juga mendesak.
Penulis: Ariyansah NK
Reviewer: Aryanto Nugroho