SIARAN PERS

Untuk diberitakan pada 17 Mei 2015 dan setelahnya

Koalisi Masyarakat Sipil yang concern di isu-isu Migas dan Pertambangan, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mendukung langkah Presiden yang memerintahkan Menteri ESDM untuk melakukan audit investigasi menyeluruh atas Pertamina Enegy Trading Ltd (Petral). Langkah itu mutlak dilakukan untuk mengungkap beragam dugaan penyimpangan impor minyak mentah dan kebocoran anggaran Negara selama ini.

Maryati Abdullah, Koordinator PWYP Indonesia mengatakan, pihaknya mendukung upaya pemerintah untuk segera melakukan audit menyuluruh berupa audit investigasi dan audit forensik terhadap Petral. Audit tersebut terkait manajemen, pengelolaan anggaran, impor minyak mentah serta pengelolaan aset-aset.  Maryati berharap, nantinya hasil laporan kedua audit itu jangan hanya menjadi dokumen semata, namun harus dilakukan ekspose publik dan ditindaklanjuti ke ranah hukum.

Hal tersebut, menurut Maryati, agar memberikan kepastian kepada publik dan mengembalikan kepercayaan publik atas penegakan hukum di sektor Migas. “Karenanya, kami berharap hasil audit investigasi dan audit forensik itu harus membuka tabir sesungguhnya praktek-praktek yang ditengarai sebagai mafia migas dan juga untuk mengetahui kemana saja aliran ‘rente’ impor minyak mentah selama ini mengalir. selama ini,” tuturnya Minggu (17/5).

Seperti yang dilansir Menteri ESDM pada Jumat (15/5) lalu, tiga bulan pertama sejak peran Petral digantikan Pertamina Integrated Supply Chain (ISC) dalam impor minyak mentah, ada penghematan sebesar 22 juta dolar AS. Jika dirata-ratakan dengan tingkat kebutuhan dan harga yang relatif sama, maka dalam setahun bisa dicapai penghematan sebesar 88 juta dollar AS (mencapai 1,14 Triliun Rupiah, dengan Kurs 1 USD= Rp13.000).

Maryati menambahkan, tim audit investigasi dan audit forensik juga hendaknya sudah melibatkan sejumlah ahli baik dari kalangan internal maupun independen. “Kami meminta tim audit juga melibatkan penegak hukum seperti dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK),” tegas Maryati.

Maryati menjelaskan, melalui audit investigatif dan audit forensik, maka perbaikan tata kelola impor minyak mentah dapat diperbaiki secara sempurna, dan jangan sampai menimbulkan mafia ‘rente’ baru, yang merugikan sumber daya publik. “Tata kelola impor minyak mentah harus dijalankan setransparan dan akuntabel mungkin, publik harus dapat mengawasi dan mengakses informasi. Peran DPR juga harus diperkuat dalam melakukan pengawasan, karena DPR juga berperan penting dalam  menentukan alokasi pembiayaan atas subsidi energi setiap tahunnya,” jelasnya.

Maryati menambahkan, selain soal Petral menarik juga untuk melihat respon pemerintah dalam menindaklanjuti rekomendasi dari laporan Tim Reformasi Tata Kelola Migas soal format tata kelola sektor hulu migas dan hak daerah (participating interest).

Terkait format tata kelola, lanjut Maryati, Koalisi PWYP Indonesia memiliki kesamaan ide dengan rekomendasi Tim Reformasi yaitu adanya sebuah BUMN Khusus untuk mengatur masalah hulu. “Kami telah menyusun Revisi UU Migas versi Masyarakat Sipil, di mana terkait kelembagaan hulu migas ini sebaiknya dikelola oleh BUMN Pengelola (khusus),” tutup Maryati.

Aryanto Nugroho, Koordinator Advokasi PWYP Indonesia menambahkan, dalam kajian yang disusun oleh Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) dan Koalisi PWYP Indonesia, dalam model kelembagaan hulu migas yang baru, nantinya cost recoverydilakukan oleh BUMN Pengelola (khusus) dan menekankan pada aspek transparansi cost recovery tuturnya.

Ketertutupan dalam penentuan dan perincian cost recovery selama ini, menurut Aryanto ditengarai memberi peluang terjadinya praktek-praktek kolusi dan korupsi sebagaimana terafirmasi dalam temuan pemeriksaan BPK pada tahun 2013 dimana ditemukan dugaan penyimpangan biaya pembayaran cost recovery sebesar USD 221,5 juta atau Rp. 2,25 triliun pada periode 2010-2012.  “Penerapan transparansi merupakan kunci untuk meningkatkan akuntabilitas perhitungan cost recovery yang dibayarkan kepada kontraktor KKS” jelas Aryanto.

Aryanto menambahkan, masalah yang kerap terjadi terkait hak daerah dalam participating interest suatu blok Migas adalah daerah tidak mampu mengambil keseluruhan hak participating interest, kecuali mereka menggandeng swasta. Hal ini, menurut Aryanto, membuat tujuan adanya participating interest, yaitu untuk melibatkan, serta memberikan manfaat kepada pemerintah daerah, perusahaan daerah dan warga lokal menjadi tidak tercapai.

“Dalam kajian kami di Revisi UU Migas versi masyarakat sipil, kami merekomendasikan bahwa BUMD dapat saja meminjam kepada lembaga pembiayaan dari Pemerintah atau menerbitkan obligasi untuk menghimpun dana dari masyarakat. Selain itu, BUMD yang dapat mengambil participating interest adalah BUMD yang kepemilikan modalnya 100% dikuasai oleh Pemerintah Daerah, sehingga tidak harus maksimal 10% diambil oleh daerah namun dimanfaatkan seoptimal mungkin” tukas Aryanto.


Publish What You Pay Indonesia

Maryati Abdullah

Koordinator Nasional


Bagikan