Kontroversi Penerapan UU Minerba Belum Usai

Rabu, 12/03/2014

Jakarta – Aktivis peduli pertambangan yang tergabung dalam Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Tambang yang terdiri dari Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Indonesia for Global Justice (IGJ), Publish What You Pay/PWYP-Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) mendaftar sebagai Permohonan Pihak terkait pada Judicial Review UU No.4/2009 tentang Minerba Pasal 102 dan 103 yang diajukan oleh Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (APEMINDO) dan lain-lain kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut Koalisi, dalam siaran pers bersama yang dikutip Neraca, Selasa (11/3), pada pokoknya, mereka meminta MK untuk menafsir ulang Pasal 102 dan 103 UU Minerba karena dalam Pasal tersebut tidak secara tegas melarang ekspor mineral mentah. Sehingga peraturan turunan atas UU tersebut yang dikeluarkan Pemerintah dengan kebijakan melarang ekspor bahan mentah tambang menurut Para Pemohon bertentangan dengan konstitusi. Sehingga harus dinyatakan oleh MK bahwa Pasal 102 &103 UU Minerba konstitusional sepanjang dimaknai bukan pelarangan ekspor.

“Berdasarkan kondisi tersebut, mengingat ada celah hukum yang dimungkinkan oleh Hukum Acara Pengujian Undang-Undang oleh Pihak Terkait, Maka Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Tambang (IHCS, FITRA, IGJ,P3M,PWYP,KIARA), merasa penting untuk mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait dalam Perkara No.10/PUU-XII/2014 yang diajukan oleh APEMINDO dan kawan-kawan,” jelas Koalisi.

Koalisi beranggapan bahwa organisasi-organisasi yang tergabung dalam Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Tambang adalah lembaga yang secara tidak langsung terkait dengan permohonan dimaksud, karena menurut koalisi, Pasal 102 dan 103 UU Minerba justru konstitusional dan sangat jelas memandatkan stakeholder industri pertambangan untuk mewujudkan hilirisasi dalam bentuk pembangunan smelter, yakni pemurnian dan pengolahan barang tambang sebelum diekspor agar optimaliasi penerimaan negara tercapai. Anggota Koalisi merupakan lembaga-lembaga yang peduli selama ini atas minimnya nilai tambah dan rendahnya optimalisasi penerimaan negara dari sektor tambang dan gencar melakukan kampanye pentingnya renegosiasi kontrak-kontrak karya pertambangan dan PKP2B.

Jakarta – Aktivis peduli pertambangan yang tergabung dalam Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Tambang yang terdiri dari Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Indonesia for Global Justice (IGJ), Publish What You Pay/PWYP-Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) mendaftar sebagai Permohonan Pihak terkait pada Judicial Review UU No.4/2009 tentang Minerba Pasal 102 dan 103 yang diajukan oleh Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (APEMINDO) dan lain-lain kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut Koalisi, dalam siaran pers bersama yang dikutip Neraca, Selasa (11/3), pada pokoknya, mereka meminta MK untuk menafsir ulang Pasal 102 dan 103 UU Minerba karena dalam Pasal tersebut tidak secara tegas melarang ekspor mineral mentah. Sehingga peraturan turunan atas UU tersebut yang dikeluarkan Pemerintah dengan kebijakan melarang ekspor bahan mentah tambang menurut Para Pemohon bertentangan dengan konstitusi. Sehingga harus dinyatakan oleh MK bahwa Pasal 102 &103 UU Minerba konstitusional sepanjang dimaknai bukan pelarangan ekspor.

“Berdasarkan kondisi tersebut, mengingat ada celah hukum yang dimungkinkan oleh Hukum Acara Pengujian Undang-Undang oleh Pihak Terkait, Maka Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Tambang (IHCS, FITRA, IGJ,P3M,PWYP,KIARA), merasa penting untuk mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait dalam Perkara No.10/PUU-XII/2014 yang diajukan oleh APEMINDO dan kawan-kawan,” jelas Koalisi.

Koalisi beranggapan bahwa organisasi-organisasi yang tergabung dalam Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Tambang adalah lembaga yang secara tidak langsung terkait dengan permohonan dimaksud, karena menurut koalisi, Pasal 102 dan 103 UU Minerba justru konstitusional dan sangat jelas memandatkan stakeholder industri pertambangan untuk mewujudkan hilirisasi dalam bentuk pembangunan smelter, yakni pemurnian dan pengolahan barang tambang sebelum diekspor agar optimaliasi penerimaan negara tercapai. Anggota Koalisi merupakan lembaga-lembaga yang peduli selama ini atas minimnya nilai tambah dan rendahnya optimalisasi penerimaan negara dari sektor tambang dan gencar melakukan kampanye pentingnya renegosiasi kontrak-kontrak karya pertambangan dan PKP2B

“Maka hal ini akan menimbulkan target hilirisasi tidak akan terwujud atau tercapai, dengan banyaknya nego-nego yang dilakukan pengusaha kepada pemerintah dan seharusnya aturan ini harus dijalankan dengan baik serta tidak ada kemunduran lagi,” ujar Marwan.

Marwan pun menambahkan aturan bea keluar ini merupakan paket kebijakan dari pemerintah yang harus dijalankan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan. “Melihat gejala yang terjadi belakangan ini, dengan banyaknya revisi aturan bea keluar ini maka pemerintah terkesan tunduk atas kemauan dari pengusaha atau kontraktor,” tambah dia.

Sumber : www.neraca.co.id