Ketua Nelayan Perempuan Sungai Putat, Anita, ketika menjelaskan sejumlah persoalan yang mengancam kelestarian Danau Bekat. Foto: Andi Fachrizal

8 Juli 2015, Andi Fachrizal, Sanggau, Kalimantan Barat

Matahari mulai condong ke barat ketika Anita turun dari kediamannya di Desa Pedalaman, Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Speedboat yang dia tumpangi melaju, menyusuri Sungai Putat menuju Danau Bekat.

Perjalanan sekitar 20 menit di sungai kecil itu menjadi tak terasa lantaran keakraban perempuan 27 tahun ini. Suaranya meledak-ledak menjelaskan sejumlah persoalan yang tengah dihadapi nelayan di Desa Pedalaman.

Sementara perkampungan di bantaran sungai, seperti menyuguhkan panorama yang khas, laiknya negeri di atas air. Terlihat pula bagaimana warga memanfaatkan sumber daya alam yang ada dengan membudidaya ragam ikan lokal seperti toman di karamba.

Anita adalah Ketua Nelayan Perempuan Sungai Putat. Ibu-ibu nelayan setempat memberikan kepercayaan padanya sejak 2010. Kini, Anita bersama ratusan nelayan lainnya sedang berjuang keras. Mereka ingin menyelamatkan Danau Bekat dari ancaman degradasi lingkungan.

Sejak industri ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan kelapa sawit menjamah Tayan Hilir, daya dukung lingkungan di Danau Bekat mulai menurun. Indikatornya adalah hasil tangkapan nelayan.

“Sebelum perusahaan ada, penghasilan nelayan di Danau Bekat sudah cukup untuk menopang ekonomi keluarga. Kita cukup cari ikan di danau. Tak perlu bersusah payah cari penghasilan tambahan,” kata Ibu dua anak ini ketika dikunjungi di Desa Pedalaman, beberapa waktu lalu.

Seorang nelayan perempuan sedang memancing ikan di Danau Bekat, Desa Pedalaman, Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Foto: Andi Fachrizal

Sudah menjadi tradisi, kata Anita, nelayan akan turun ke danau pukul 24.00 WIB dan pulang sekitar jam 07.00 pagi. Dengan masa tangkap tujuh jam, nelayan sudah bisa membawa ikan sebanyak tiga keranjang. Masing-masing keranjang berisi 10 kilogram ikan.

“Tapi itu cerita dulu, sebelum ada perusahaan beroperasi di sekitar danau. Sekarang,boro-boro dapat satu keranjang. Pergi ke danau pukul 23.00 WIB, pulang pagi cuma dapat tiga kilogram,” ucapnya lirih.

Dia menduga, turunnya hasil tangkapan nelayan akhir-akhir ini dipicu oleh limbah perusahaan ekstraktif. Limbah-limbah itu mengalir ke Sungai Putat dan masuk ke Danau Bekat.

Berdasarkan catatan, PT. Sanmas Mekar Abadi (SMA) masuk ke Desa Pedalaman pada 2010. Salah satu grup PT. Mahkota Karya Utama (MKU) yang beroperasi di Desa Sejotang ini bergerak di sektor pertambangan bauksit.

“Pada 2013, perusahaan ini mulai membangun infrastruktur jembatan. Baru setahun berjalan, jembatan yang dibangun di Sungai Putat hampir roboh. Kondisinya sangat mengganggu nelayan yang hendak mencari rezeki di danau,” kata Anita.

Nelayan setempat sudah meminta agar perusahaan mau memperbaiki jembatan itu. Namun hasilnya nihil. Sampai perusahaan berhenti beroperasi akibat kebijakan smelterisasi, jembatan tak kunjung diperbaiki. Bahkan, kondisinya kian parah dan bisa mengancam keselamatan nelayan.

Padahal, Sungai Putat adalah akses satu-satunya bagi masyarakat nelayan Desa Pedalaman untuk masuk ke Danau Bekat mencari ikan. “Tidak ada lagi jalan lain ke danau kecuali lewat Sungai Putat. Sekarang, jalan kita terganggu jembatan miring. Danau juga sudah tercemar,” katanya.

Ancaman limbah tak hanya datang dari pertambangan bauksit. Di sekitar Danau Bekat juga sudah ditanami sawit. “Artinya, ancaman limbah kian besar. Sebelum danau ini habis, kami mohon pemerintah bisa menjadikan Danau Bekat menjadi danau lindung,” pinta Anita.

Seorang pengumpul ikan sedang menunjukkan potensi perikanan di Danau Bekat. Foto: Andi Fachrizal

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2015/07/08/srikandi-pengawal-danau-bekat-ini-keluhkan-limbah-tambang/


Bagikan