Ini adalah laporan penelitian yang dilakukan oleh Dyah Paramita dan Maryati Abdullah pada tahun 2010 mengenai Tanggung Jawab Penutupan Tambang (Abandonment and Site Restoration/ASR) pada Industri Ekstraktif Migas di Indonesia, atas studi di PSC Bengara II, PSC Yapen, dan PSC Cepu. Penelitian ini dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) bekerjasama dengan Indonesian Center for Environtmental Law (ICEL) atas dukungan Vecht Mee Tegen Onrecht (11.11.11).

Berikut adalah kesimpulan dan rekomendasi yang dihasilkan dari penelitian ini:

Kesimpulan

  1. Dunia internasional berpandangan bahwa prinsip kehati-hatian perlu diterapkan pada tahap decommissioning dan pelaksanaan ASR. Hal ini memberikan konsekuensi adanya perhatian total pada pelaksanaan ASR, jangan sampai instalasi yang mencapai masa operasi diabaikan dan menimbulkan masalah dikemudian hari. Indonesia belum meratifikasi konvensi London, hal ini membuka peluang bagi praktek pertambangan untuk melakukan dumping di Indonesia yang tidak sesuai dengan ketentuan konvensi London. Walaupun Indonesia menandatangani UNCLOS, akan tetapi hal tersebut tidak cukup seban UNCLOS tidak mengatur aspek dumping limbah dari kegiatan Migas.
  2. Di Indonesia, dana cadangan ASR tidak dapat dikembalikan kepada Kontraktor akan tetapi biaya ASR merupakan dana operasional yang menurut PP No. 79 tahun 2010 merupakan biaya yang dapat dikembalikan (cost recovery), hal ini akan dilakukan dengan prinsip MCAR sehingga dana yang dicadangkan sama besarnya denga biaya riil yang keluar.
  3. PSC pada generasi awal tidak mengatur secara jelas mengenai kewajiban ASR, akan tetapi pada PSC pada dasarnya Pemerintah yang memiliki sumur dan fasilitas yang kemudian pengoperasiannya dilakukan oleh kontraktor dimana biaya operasi ditanggung pemerintah melalui cost recovery. Berdasarkan hukum internasional, pemilik dari fasilitas Migas memiliki kewajiban untuk melakukan ASR. Oleh karena pada saat berakhirnya PSC Pemerintah-lah yang memiliki alas hak atas fasilitas Migas, maka Pemerintah pula yang bertanggung jawab atas ASR tersebut. Pada saat cost recovery diformulasikan berdasarkan sistem PSC, hal ini mungkin luput dari perhatian, akan tetapi sayangnya beban biaya ASR merupakan hal yang harus ditanggung negara akibat kepemilikan dari fasilitas tersebut.
  4. Pada PSC Bengara II, Yapen dan Cepu secara umum telah mencantumkan kewajiban mengenai dana ASR dan pelaksanaan ASR, dan pelaksanaan atas hal tersebut perlu dibuat lebih detail. Pembaruan konsep ASR atau pengaturan lebih lanjut mengenai ASR bukanlah menjadi halangan sebab pada PSC Cepu misalnya, pada klausul 5.1.20 mewajibkan kontraktor untuk taat pada hukum Indonesia yang berlaku. Hal ini juga dipahami bahwa eksekusi program kerja harus dilakukan tanpa menyebabkan konflik dengan kewajiban yang diberlakukan oleh kewajiban internasional.
  5. Dalam hal ini maka kontraktor harus menyesuaikan dengan kewajiban tersebut sebagai bentuk ketaatan terhadap hukum di Indonesia. Kemudian, pelaksanaan ASR yang baik merupakan kewajiban internasional dimana Indonesia terikat dalam UNCLOS.
  6. Dana ASR merupakan biaya operasional yang akan di kembalikan (komponen cost recovery), hal ini merupakan faktor pengurang yang besar atas keuntungan negara dari kegiatan Migas. Atas hal ini perlu dipertimbangkan dan diteliti lebih lanjut apakah bentuk PSC akan tetap digunakan untuk kegiatan onshore dan offshore, atau dibedakan seperti halnya model Nigeria yang menggunakan JOA untuk kegiatan onshore dan PSC untuk kegiatan offshore. Perlu dipertimbangkan agar biaya ASR bukan menjadi tanggungan negara semata tetapi menjadi beban bersama para aktor yang terlibat dalam operasi Migas.

Rekomendasi:

  1. Pengaturan ASR baik pengelolaan dana maupun pelaksanaannya harus lebih detail, dapat diakomodasi pada Abandonment Agreement seperti di Inggris dan secara umum diakomodasi pada peraturan perudang-undangan
  2. Perlu pembedaan dekomissioning (atau ASR) pada kegiatan onshore dan offshore baik dari standar, tata laksana maupun regulasi.
  3. Perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai dana ASR, aspek penghitungan, pengelolaannya serta kritisi cost recovery ASR dan MCAR (apakah proporsinya tidak perlu dimodifikasi?)
  4. Indonesia perlu mempertimbangkan untuk meratifikasi London Convention mengingat Konvensi London memuat aspek dumping limbah dari kegiatan Migas, selain itu secretariat London Dumping Convention juga memberikan peningkatan kapasitas bagi para pihak, hal ini dapat membantu Indonesia untuk meningkatkan kapasitas.
  5. Apabila perlu, Indonesia dapat membentuk Konvensi Regional yang diharapkan dapat mengatasi masalah pencemaran laut akibat kegiatan Migas termasuk ASR di offshore yang berpotensi terjadi di wilayah perairan ASEAN atau Asia pasifik.
  6. Perlu adanya keterbukaan informasi pada BP Migas, diantaranya keterbukaan kontrak, pedoman dan dokumen tata kelola Migas, data anjungan/operasi Migas. Hal ini dapat memberikan ruang diskusi dan diaog ilmiah pada publik untuk dapat berpartisipasi dalam mengkaji, memberikan usulan perbaikan kebijakan tata kelola Migas kepada Pemerintah dan mengawasi pelaksanaan operasi Migas.
  7. Dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, tanggung jawab residual merupakan aspek yang penting. Setelah ASR dilakukan perlu adanya kepastian siapa yang bertanggung jawab atas perawatan, pemantauan dan apabila ada kerusakan dan dampak lingkungan, serta apabila timbul kewajiban bagi generasi yang akan datang.
  8. Model PSC Indonesia belum mengatur secara detail mengenai ASR, begitu pula dengan PTK dan peraturan perundang-undangan yang ada. Perlu disusun lebih lanjut mengenai standarstandar pemulihan, perbedaan pelaksanaan ASR pada onshore dan offshore, transparansi serta akses informasi kepada masyarakat.

Dyah Paramita, Maryati Abdullah

2010

Format PDF – Google Drive